Sebenarnya keberadaan kita ini sebagai apa? Apakah rahmat atau justru mushibah?

Coba kita kilas balik sejenak kepada kisah Nuh dan putranya. Bagaimana seorang Nabi diuji dengan kedurhakaan sang anak. Bukan. Bukan hanya durhaka sang anak kepada bapak, melainkan durhaka anak kepada Sang Khaliq. Sang pengutus ayahandanya sendiri. Dengan kesombongannya anak Nabi Nuh bersikeras menolak untuk ikut serta masuk kedalam kapal. Berusaha naik ke gunung tertinggi pada saat itu, namun tetap saja air meninggi. Sampai akhirnya ia tenggelam bersama kaum Nabi Nuh yang juga ingkar pada masa itu.

Lalu kita siapa? Apakah kita anak seorang Nabi? Bukan. Tentu bukan. Kita hanya anak dari seorang pekerja dakwah, seorang pejuang dakwah, seorang penyeru kebenaran. Itulah pekerjaan kedua orangtua kita. Tidak akan jauh dari jalan dakwah.

Oh tentu tidak. Saya tidak akan membandingkan kita dengan anak Nabi Nuh. Melainkan selagi kaca itu masih ada didunia ini cobalah untuk berkaca. Jika anak Nabi Nuh saja bisa memiliki kesombongan untuk membangkang dari orangtuanya, bagaimana dengan kita yang bukan anak dari siapa-siapa? 

Keimanan itu tidak mampu diturunkan. Keimanan juga tidak pernah bisa dititiskan. Karena keimanan itu hanya bisa dilahirkan oleh masing-masing individu kedalam hati mereka sendiri. 

Tidak akan pernah bisa seorang ayah menitiskan keimanan kepada anaknya. Ia hanya bisa mengajarkan makna iman, memberi kabar soal penciptaan dan hari kiamat, memberitakan kepada sang anak tentang Rabbul Izzati, namun tetap tak mampu menciptakan iman dalam hati sang anak. Karena jika sang anak pandai mengambil hikmah, maka sudah pasti iman itu akan hadir dalam hatinya sendiri seiring menerima pelajaran dari sang ayah.

Lalu buat apa sang ayah bersibuk diri mengabarkan perihal iman dan cabang-cabangnya kepada sang anak kalau bukan karena perintah Allah? 

Quu anfusakum wa ahlikum naaro..

Sejatinya seorang ayah hanya mengamalkan perintah Rabb nya. 

‘ud’uu ila robbika bil hikmati wal mau’idzhotil hasanah

Satu sisi ia menyeru mu kepada kebaikan karena kau adalah bagian dari keluarganya, disisi lain ia menyeru mu kepada kebaikan karena kau adalah bagian dari agama yang juga ia pegang. Agama islam.

Lalu dimana kita memposisikan diri sebagai anak? Dimana kita memposisikan diri sebagai seorang muslim. Sedang membedakan antara yang haq dan bathil saja kita takut! Takut! Bukan tidak tahu. 

Karena sudah barang tentu tanpa keraguan lagi kedua orangtua kita telah mengajarkan banyak sekali perbedaan antara yang haq dan yang bathil, bahwa yang haq tidak akan pernah bercampur dengan yang bathil. Sudah berapa kali kedua orang tua kita mengabarkan itu kepada kita? Sudah berapa banyak waktu, usaha, uang dan kerja keras yang mereka korbankan demi memahamkan itu semua kepada kita? 

Sayangnya, sudah terlalu banyak pemakluman dizaman kita hidup saat ini. Hal ini dianggap maklum, hal itu dimohon untuk tetap maklum. Akhirnya kita hidup dengan penuh pemakluman. Padahal, tidak pernah ada pemakluman dalam dosa dan pahala. 

Jika kita adalah rahmat, maka keberadaan kita akan menjadi kebaikan yang terus mengalir dalam sungai dakwah ini. Namun jika keberadaan kita adalah mushibah yang “selalu menuntut pemakluman” , maka mungkin kita perlu memperbaiki istighfar dalam setiap detak nafas.

Afifah Nusaibah



Kerap kali kita mendengar, seseorang datang seraya berkata “Aku punya dua kabar, satu baik dan yang satu lagi buruk.” Atau “Ada kabar buruk nih, kamu mau tau?” atau kalimat sejenis lainnya yang menyatakan bahwa itu adalah kabar buruk.

Padahal, Rasulullah sendiri yang mengabarkan kepada ummatnya, bahwa setia urusan mu’min itu baik. 

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya  adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” Hadits riwayat Muslim.

Dengan hadits tersebut maka sudah seharusnya kita menghindari kalimat-kalimat yang mengacu pada ketidak kebersyukuran terhadap apa yang Allah takdirkan. Mengatakan bahwa ada kabar buruk, atau ada sesuatu yang tidak baik, mungkin bukan ungkapan yang tepat. 

Ingatlah kawan, jika mushibah atau cobaan itu datang segeralah ucapkan “Allahumma aajirni fii mushiibati wakhliflii khoiron minha..” 

Saya teringat tentang sebuah hadits Rasulullah : “Wa in ashoobaka syai-un falaa taqul lau anni fa’altu kadzaa wa kadzaa, walakin qul qoddarallahu wa maa syaa-a fa’ala.”
Dan jika engkau tertimpa mushibah, janganlah berkata “Andai saja aku seperti ini dan seperti itu, tetapi katakanlah “telah ditakdirkan Allah, apa yang Allah kehendaki, Allah membuatnya.”

Akan lebih baik jika perkataan itu diubah polanya. Misalnya begini, “Qodarallah, saya dalam keadaan.....” kamu bisa menjelaskannya sendiri. Atau “Ada kabar bahwa........ “ kemudian dilanjutkan dengan kalimat syukur, Alhamdulillah.

Semua itu karena segala urusan mu’min adalah baik. Maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa itu adalah hal yang buruk atau dengan kalimat sejenisnya.
Mari bersyukur serta terus menerus memperbaharui syukur. 

Allah saja senantiasa memperbaharui nikmat-Nya kepada kita dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Lalu bagaimana kita melupakan untuk terus menerus memperbaharui syukur kepada-Nya? Masih pantaskah kita menjadi hamba-Nya sedang syukurpun kita sering luput bahkan lupa.

“Wa in ta’uddu ni’matallahi laa tuhshuuha” kata Allah dalam kitab-Nya.

Kembalikan segala urusan kepada Allah. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya.
Jika engkau merasa terpuruk atau dunia seolah tertutup, maka carilah satu pintu untuk kemudian membukanya. Jika satu pintu itu tertutup maka bukalah sepuluh pintu lainnya. Dan jika sepuluh pintu itu tertutup, maka carilah seratus bahkan seribu pintu lainnya untuk kau buka. Pasti akan ada satu pintu yang terbuka. 

Pasti ada. 

Kita tidak perlu melihat betapa beratnya cobaan yang menimpa, tetapi lihatlah seberapa kuat bahu yang menopang cobaan itu. Karena tidak ada cobaan yang Allah timpakan melampaui batas kemampuan. 

@afifahns13 
17:51, Jatipadang, 23 November 2015





Dulu,
Dulu sekali, ingatkah ketika hari dimana untuk pertama kalinya aku menyapa dunia
Senyuman sederhana tersimpul manis dari pipi cantikmu, Umi...
Peluh yang bercucur penuh di dahimu, tak lunturkan bahagia dan syukur dihari itu...
Lalu, diperdengarkan adzan untuk ku, dalam dekapan hangat seseorang bernama Abi...
Yang kini, ku kenal sebagai pejuang hebat lagi tangguh dan gagah...

Mungkin ini sepenggal kisah
Awal dari perjalananku bersama tarbiyyah
Memulai hidup, dan menuai banyak hikmah
Dari dalam dekapan Umi, hingga ke jalan dakwah

Satu persatu ilmu kau ajarkan
Tentang pahit getir perjuangan
Tentang sebuah cita-cita dimasa depan
Tentang ukhuwah dan kebersamaan

Sedari dulu, kau tanamkan dalam jiwa-jiwa anakmu
Agar menjadi manusia paling tangguh lagi patuh
Tangguh dalam perjuangan
Patuh terhadap aturan Allahurrohman

Sejarah tak pernah dusta
Sejarah tak pernah lupa
Tentang tapak tapak yang kau tinggalkan
Tentang jejak-jejak yang kau ukirkan
Sejarah senantiasa mengabari kami tentang itu
Betapa kokoh dan megahnya, bangunan bernama semangat dan pertahanan

Siang malam berganti, badai dan terjangan ombak menghampiri
Tetap saja tak mampu meruntuhkan kokoh perjuangan dan pengorbanan mu

Abi,
Umi,
Dengarkanlah sejenak
Sebentar saja aku ingin meminta maaf
Maaf jika kelak, aku dan Garuda Keadilan, jauh lebih kokoh dimasa depan
Maaf jika kelak, aku dan Garuda Keadilan, jauh lebih produktif dijalan perjuangan
Maaf jika kelak, aku dan Garuda Keadilan, jauh melampaui harapan dan cita-cita yang engkau doakan
Maaf jika kelak, aku mulai sibukk dengan dakwah,
Atau mulai sibuk dengan urusan ummah,
Atau mulai sibukk dengan segala hal tentang tarbiyyah
Maafkanlah, Abi, Umi

Semua itu tak lain, karena kami ingin tetap membersamai mu, di Syurga Nya kelak...
Membersamaimu, mengukir jejak-jejak sejarah...
Lalu, biarkan aku sejenak menyapa mereka...
Sahabat-sahabat perjuangan yang penuh semangat dalam berkarya
Garuda Keadilan, di seluruh penjuru kota...

Kawan,
Ketika kita memiliki satu tujuan yang sama,
satu tujuan kebaikan, akan banyak batu kerikil bahkan duri yang tajam akan menghujam.
Bertahanlah,
Sakit itu biasa. Perih itu memang luka.
Tapi di ujung sana, ujung yang masih jauh disana
            dan kita masih harus tertatih melangkah kesana, ada Syurga-Nya yang manis,
Syurga-Nya yang nyata, Syurga-Nya yang tiada dua.

Bertahanlah... 

Aku tidak akan mengatakan bertahanlah sedikit lagi.
Karena kita sama sama tahu, jalanan itu masih sangat panjang. 

Bertahanlah sampai antrian maut menghampiri. 

Karena menjadi "hanif" seperti sifat Nabi Ibrahim , tidaklah sekedar lurus.
Melainkan lurus dan istiqomah disaat yang lain tengah menyimpang bahkan ingkar...

Kita, teman seperjuangan. Saat perbedaan itu sebuah keniscayaan,
selagi iman, dan aqidah kita bertumpu pada satu Sang Pencipta Insan, Allahur Rohman,
maka doa adalah penguat dan pengukuh ukhuwwah dan perjuangan...

Karya  : Afifah Nusaibah