“Beberapa
tahun silam, saat mayoritas anak SMA kelas akhir sibuk kulur kilir kampus
idamannya untuk mengurus pendaftaran dan lain lainnya, aku hanya terduduk
menatap kesibukan mereka. Keluar masuk kantor TU, Kepala Sekolah dan seabrek urusan
lainnya. Dan aku masih tetap terpaku di tempat ku. Karna hidup di atap yang
sama, makan di dapur yang sama, tidur di ruangan yang sama, cukup banyak yang
ku tahu dari cerita mereka. Serunya SNMPTN, asyik nya berlenggak lenggok di
kampus idaman dan masih banyak segudang cerita lainnya.
Iri?
Pasti! Rasa iri itu sudah sering keluar masuk kedalam sanubari. Aku fikir aku
tak akan pernah tertarik mengikuti jejak mereka mendaftar ke kampus atau
universitas negri lainnya. Karna entah sejak kapan, sudah ada sebuah kampus
yang tersimpan rapih dalam sebuah asa ku.
Tak
jarang bisikan-bisikan itu menyelinap dalam telingaku. Berkata bahwa untuk
masuk ke kampus idaman ku sangatlah sulit. Saingan dari seluruh penjuru
Indonesia bukanlah hal yang remeh. Lalu aku siapa? Apakah sanggup aku bersaing
dengan mereka? Yang notaben nya berlatar belakang pesantren-pesantren ternama
dengan pendidikan yang sangat berkualitas?
Aku
terdiam untuk waktu yang panjang. Beberapa kali mencoba menghubungi umi,
meminta izin untuk ikut mendaftar di salah satu Universitas di Jogjakarta. Tetap
saja aku gagal merayu sang mahkota keluarga. Umi tak jua mengatakan iya. Ah robby,
lalu bagaimana jika aku tak di terima di LIPIA? Kampus yang didambakan para
pecinta ilmu? Umi tak habis-habisnya terus memasukkan keyakinan pada ku, aku
pasti di terima. Dan aku harus yakin itu. Kata umi, suatu keyakinan akan
merubah keadaan. Dan aku percaya. Ku mulai kembali menata tujuan seperti
semula.
Tibalah
saat itu libur sekolah bagi santri kelas akhir. Aku memutuskan untuk pulang ke
kampung halaman, dengan menempuh perjalanan selama 12 jam perjalanan menggunakan
kereta dari Palembang menuju Lampung. Dua hari aku menikmati kebersamaan
bersama keluarga, tiba-tiba seorang teman mengirim sms yang berisi berita bahwa
LIPIA telah membuka pendaftaran, mulai dari kemarin hingga lima hari lagi. Ah! Kenapa
begitu mendadak??? Sedang aku masih menikmati kebersamaan bersama keluarga??? Aku
bertanya pada teman yang mengirimiku sms tersebut, kapan ia akan berangkat ke
Jakarta dan apa saja persyaratannya. Panjang lebar ia jelaskan, intinya aku
tetap harus kembali ke Palembang untuk mengambil segala persyaratan di kantor
Madrasah. Malam itu juga aku berangkat menuju kota yang terkenal dengan
mpek-mpek dan jembatan Ampera nya. Aku terus menjaga komunikasi dengan temanku,
ia bilang ada dua santri wati, aku dan dia, juga lima santriwan yang juga akan
berangkat ke Jakarta. Disini aku sempat putus asa. Ia bilang, mereka akan
berangkat ke Jakarta lusa. Menggunakan pesawat karna mengejar waktu. Selain waktu
pendaftaran yang mepet, tujuh hari lagi pesantren akan mengadakan wisuda santri
kelas akhir. Dan tentu saja kami wajib dan ingin hadir. Aku lemas di kereta. Ah,
bagaimana mungkin aku katakan ke abi kalau aku ingin ikut bersama mereka ke
Jakarta dengan menggunakan pesawat? Padahal aku tahu kondisi keuangan di rumah
sangat tidak memungkinkan. Ditambah KTP ku yang baru bisa di ambil lusa. Gelisah
benar-benar memporak porandakan hati ku. Lalu jika tidak dengan mereka, dengan
siapa aku ke Jakarta? Padahal sekalipun aku belum pernah pergi keluar pulau
sendirian??? Ya allah, aku benar-benar ingin berhenti melangkah. Sempat terbesit
rasa kesal terhadap temanku, kenapa ia tak membersamaiku saja menggunakan bis. Malam
itu perjalananku ke kota Palembang seperti sesak dan penuh kepenatan.
Pagi-pagi
sekali kereta sudah tiba di stasiun Kertapati. Usai sholat shubuh aku langsung
mencari bis untuk melanjutkan perjalanan ke pesantren tempat aku menimba ilmu. Sekitar
satu jam perjalanan akhirnya aku tiba di pesantren. Dengan langkah gontai aku
menuju asrama, mengistirahatkan sejenak tubuh yang lemah ini. Seorang teman
menyapa ku, ia tahu aku kembali karna ingin mengurus segala persyaratan untuk
mendaftar di LIPIA. Dengan senyumannya yang “khas jawa” itu ia seolah sedang
memberi suntikan semangat dalam diriku. Aku bergegas membersihkan diri,
kemudian mengajak teman yang tadi sudah memberiku semangat untuk menemani ku ke
kantor madrasah. Tak begitu sulit mengurus seabrek persyaratan. Ah leganya. Setelah
cukup beristirahat, sore harinya aku kembali ke Lampung dengan menggunakan
kereta yang sama dan dari stasiun yang sama juga. Remuk? Ah tidak juga
ternyata, buktinya tulang-tulangku masih lengkap tanpa ada yang rapuh. Alhamdulillah.
Singkat cerita, paginya aku tiba di Lampung. Setelah seharian mengurus
persyaratan di kantor kepolisian dan kecamatan, malamnya aku berangkat ke
Bogor. Ya! Bogor. Nanti dari Bogor, ada kakakku yang siap mengantarku ke
Jakarta untuk mendaftar kuliah di LIPIA. Teman-temanku? Ah mereka besok pagi
akan terbang dengan tenang melewati selat sunda, dan aku malam ini tengah
menyebranginya dengan sebuah kapal sederhana.
Begitulah
perjalanan singkat kisah tentang seorang anak gunung yang ingin kuliah di
Jakarta, sampai akhirnya Allah menghendaki keinginannya itu. Lalu apakah
kisahnya usai sampai disitu? Ternyata tidak. Diterimanya si anak gunung itu di
LIPIA ternyata bukanlah akhir perjuangannya. Di beberapa semester yang ia
lalui, ia harus berhadapan dengan masalah-masalah lainnya. Sampai nyaris putus
asa. Anjlok nya nilai di beberapa semester membuat ia terlambat dari waktu yang
seharusnya. Bisa dikatakan, ia berhenti kuliah satu tahun. Banyak pengalaman
menarik disatu tahun berhentinya ia dari kuliah di LIPIA. Ia mulai mengerti,
betapa mengais rizki di Jakarta bukanlah hal yang mudah. Bekerja di sebuah
kantor selama tiga bulan, meski hanya duduk manis di depan layar, tapi tetap
saja ia merasa lebih baik duduk manis di hadapan dosen dan mendengarkan
berbagai ilmu-ilmu luar biasa. Selalu terbesit rasa sedih, saat teman-temannya
asyik berjalan menuju Kampus Biru, dan ternyata ia harus berdesakan di dalam
busway menuju kantornya. Tapi inilah hidup, ia akan terus berputar mengikuti
kehendak Sang Pencipta. Dan kini, ia ditakdirkan kembali dalam kehidupan kampus
tersebut. Setelah beberapa kali terbentur karang yang mungkin menyakitkan,
akhirnya kini ia kembali merasakan manisnya belajar dan berukhuwah di kampus
itu.
0 komentar:
Posting Komentar