Tentang Sebuah Asa

by 04.42 0 komentar


              
  “Beberapa tahun silam, saat mayoritas anak SMA kelas akhir sibuk kulur kilir kampus idamannya untuk mengurus pendaftaran dan lain lainnya, aku hanya terduduk menatap kesibukan mereka. Keluar masuk kantor TU, Kepala Sekolah dan seabrek urusan lainnya. Dan aku masih tetap terpaku di tempat ku. Karna hidup di atap yang sama, makan di dapur yang sama, tidur di ruangan yang sama, cukup banyak yang ku tahu dari cerita mereka. Serunya SNMPTN, asyik nya berlenggak lenggok di kampus idaman dan masih banyak segudang cerita lainnya.
                Iri? Pasti! Rasa iri itu sudah sering keluar masuk kedalam sanubari. Aku fikir aku tak akan pernah tertarik mengikuti jejak mereka mendaftar ke kampus atau universitas negri lainnya. Karna entah sejak kapan, sudah ada sebuah kampus yang tersimpan rapih dalam sebuah asa ku.
                Tak jarang bisikan-bisikan itu menyelinap dalam telingaku. Berkata bahwa untuk masuk ke kampus idaman ku sangatlah sulit. Saingan dari seluruh penjuru Indonesia bukanlah hal yang remeh. Lalu aku siapa? Apakah sanggup aku bersaing dengan mereka? Yang notaben nya berlatar belakang pesantren-pesantren ternama dengan pendidikan yang sangat berkualitas?
                Aku terdiam untuk waktu yang panjang. Beberapa kali mencoba menghubungi umi, meminta izin untuk ikut mendaftar di salah satu Universitas di Jogjakarta. Tetap saja aku gagal merayu sang mahkota keluarga. Umi tak jua mengatakan iya. Ah robby, lalu bagaimana jika aku tak di terima di LIPIA? Kampus yang didambakan para pecinta ilmu? Umi tak habis-habisnya terus memasukkan keyakinan pada ku, aku pasti di terima. Dan aku harus yakin itu. Kata umi, suatu keyakinan akan merubah keadaan. Dan aku percaya. Ku mulai kembali menata tujuan seperti semula.
                Tibalah saat itu libur sekolah bagi santri kelas akhir. Aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, dengan menempuh perjalanan selama 12 jam perjalanan menggunakan kereta dari Palembang menuju Lampung. Dua hari aku menikmati kebersamaan bersama keluarga, tiba-tiba seorang teman mengirim sms yang berisi berita bahwa LIPIA telah membuka pendaftaran, mulai dari kemarin hingga lima hari lagi. Ah! Kenapa begitu mendadak??? Sedang aku masih menikmati kebersamaan bersama keluarga??? Aku bertanya pada teman yang mengirimiku sms tersebut, kapan ia akan berangkat ke Jakarta dan apa saja persyaratannya. Panjang lebar ia jelaskan, intinya aku tetap harus kembali ke Palembang untuk mengambil segala persyaratan di kantor Madrasah. Malam itu juga aku berangkat menuju kota yang terkenal dengan mpek-mpek dan jembatan Ampera nya. Aku terus menjaga komunikasi dengan temanku, ia bilang ada dua santri wati, aku dan dia, juga lima santriwan yang juga akan berangkat ke Jakarta. Disini aku sempat putus asa. Ia bilang, mereka akan berangkat ke Jakarta lusa. Menggunakan pesawat karna mengejar waktu. Selain waktu pendaftaran yang mepet, tujuh hari lagi pesantren akan mengadakan wisuda santri kelas akhir. Dan tentu saja kami wajib dan ingin hadir. Aku lemas di kereta. Ah, bagaimana mungkin aku katakan ke abi kalau aku ingin ikut bersama mereka ke Jakarta dengan menggunakan pesawat? Padahal aku tahu kondisi keuangan di rumah sangat tidak memungkinkan. Ditambah KTP ku yang baru bisa di ambil lusa. Gelisah benar-benar memporak porandakan hati ku. Lalu jika tidak dengan mereka, dengan siapa aku ke Jakarta? Padahal sekalipun aku belum pernah pergi keluar pulau sendirian??? Ya allah, aku benar-benar ingin berhenti melangkah. Sempat terbesit rasa kesal terhadap temanku, kenapa ia tak membersamaiku saja menggunakan bis. Malam itu perjalananku ke kota Palembang seperti sesak dan penuh kepenatan.
                Pagi-pagi sekali kereta sudah tiba di stasiun Kertapati. Usai sholat shubuh aku langsung mencari bis untuk melanjutkan perjalanan ke pesantren tempat aku menimba ilmu. Sekitar satu jam perjalanan akhirnya aku tiba di pesantren. Dengan langkah gontai aku menuju asrama, mengistirahatkan sejenak tubuh yang lemah ini. Seorang teman menyapa ku, ia tahu aku kembali karna ingin mengurus segala persyaratan untuk mendaftar di LIPIA. Dengan senyumannya yang “khas jawa” itu ia seolah sedang memberi suntikan semangat dalam diriku. Aku bergegas membersihkan diri, kemudian mengajak teman yang tadi sudah memberiku semangat untuk menemani ku ke kantor madrasah. Tak begitu sulit mengurus seabrek persyaratan. Ah leganya. Setelah cukup beristirahat, sore harinya aku kembali ke Lampung dengan menggunakan kereta yang sama dan dari stasiun yang sama juga. Remuk? Ah tidak juga ternyata, buktinya tulang-tulangku masih lengkap tanpa ada yang rapuh. Alhamdulillah. Singkat cerita, paginya aku tiba di Lampung. Setelah seharian mengurus persyaratan di kantor kepolisian dan kecamatan, malamnya aku berangkat ke Bogor. Ya! Bogor. Nanti dari Bogor, ada kakakku yang siap mengantarku ke Jakarta untuk mendaftar kuliah di LIPIA. Teman-temanku? Ah mereka besok pagi akan terbang dengan tenang melewati selat sunda, dan aku malam ini tengah menyebranginya dengan sebuah kapal sederhana.
                Begitulah perjalanan singkat kisah tentang seorang anak gunung yang ingin kuliah di Jakarta, sampai akhirnya Allah menghendaki keinginannya itu. Lalu apakah kisahnya usai sampai disitu? Ternyata tidak. Diterimanya si anak gunung itu di LIPIA ternyata bukanlah akhir perjuangannya. Di beberapa semester yang ia lalui, ia harus berhadapan dengan masalah-masalah lainnya. Sampai nyaris putus asa. Anjlok nya nilai di beberapa semester membuat ia terlambat dari waktu yang seharusnya. Bisa dikatakan, ia berhenti kuliah satu tahun. Banyak pengalaman menarik disatu tahun berhentinya ia dari kuliah di LIPIA. Ia mulai mengerti, betapa mengais rizki di Jakarta bukanlah hal yang mudah. Bekerja di sebuah kantor selama tiga bulan, meski hanya duduk manis di depan layar, tapi tetap saja ia merasa lebih baik duduk manis di hadapan dosen dan mendengarkan berbagai ilmu-ilmu luar biasa. Selalu terbesit rasa sedih, saat teman-temannya asyik berjalan menuju Kampus Biru, dan ternyata ia harus berdesakan di dalam busway menuju kantornya. Tapi inilah hidup, ia akan terus berputar mengikuti kehendak Sang Pencipta. Dan kini, ia ditakdirkan kembali dalam kehidupan kampus tersebut. Setelah beberapa kali terbentur karang yang mungkin menyakitkan, akhirnya kini ia kembali merasakan manisnya belajar dan berukhuwah di kampus itu.

afifah Nusaibah fifah

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar