Hujan. Dulu aku dan kamu seperti
ada jalinan persahabatan. Setiap mendung datang, aku akan bersorak girang. Menantikan
hujan segera turun dan membasahi alam. Lalu dengan senang hati aku akan
menari-nari di tengah rintik hujan. Semakin deras, maka aku akan semakin
senang. Tak ada banjir di desa. Yang aku tahu, banjir hanya ada di jakarta. Pun
itu aku ketahui hanya melalui berita di tivi. Ah senangnya, bahkan saat ini aku
merindukan perasaan bahagia menantikan hujan tiba.
Bermain
dan berlari-lari di tengah hujan, seakan tak punyai apapun beban kehidupan. Yang
kami tahu hanya bersenang-senang dengan air yang berjatuhan. Ah, itu sudah lima
belas atau enam belas tahun silam. Perasaan dimana aku akan sangat senang
menantikan hujan. Jika parit mulai penuh dengan air, maka kami menyebutnya itu
banjir. Padahal aku sekarang sadar, banjir yang sesungguhnya ternyata melebihi
genangan air di parit biasa.
Itulah
sekilas masa kecil tentang hujan dan aku.
Malam ini
aku bertemu dengannya. Awal nya aku kira aku ingin menghindarinya. Karena jarak
rumah dan tempatku berdiri saat ini cukup jauh untuk di jangkau. Aku berharap
aku bisa tiba di rumah sebelum ia menyapaku. Tapi tiba-tiba, seperti di kejar
rindu. Ia dengan derasnya mulai membasahi alam. Dan aku terpana, dilema antara
memeluk mu atau menunggu kau reda. Nyatanya, rindu ku pun tak tertahan. Tak peduli
seberapa derasnya engkau, akhirnya aku masuk ke tengah-tengah mu, Hujan.
Menikmati
air yang berjatuhan, menyusuri jalanan. Basah kuyup kehujanan. Hal yang aku tahu, Hujan mengajari banyak hal. Tentang kesyukuran, tentang ketenangan, tentang keindahan alam, dan tentang kesabaran dalam sebuah perjuangan.
0 komentar:
Posting Komentar